Beranda | Artikel
Faidah Seputar Ayat Keutamaan Tauhid
Sabtu, 20 April 2019

Bismillah.

Alhamdulillah pada bagian sebelumnya kita sudah sedikit membahas seputar keutamaan tauhid dari judul bab yang dibawakan oleh penulis Kitab Tauhid; yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Pada kesempatan ini insya Allah kita akan memetik faidah dari sebuah ayat yang beliau bawakan di dalam bab keutamaan tauuhid ini.

Yaitu ayat ke-82 dalam surat al-An’am, firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman; mereka itulah orang-orang yang akan diberikan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.”

Yang dimaksud dalam bab ini adalah beliau ingin menjelaskan kepada kita bahwa orang yang bertauhid dan bersih dari syirik maka dia akan mendapatkan keamanan dan petunjuk. Sehingga yang dimaksud ‘orang-orang yang beriman’ itu adalah orang-orang yang bertauhid. Sebab iman tidaklah sah tanpa tauhid, karena tauhid itulah bagian pokok dan landasan keimanan. Dan keamanan serta petunjuk akan diberikan kepada mereka dengan syarat mereka bersih dari segala bentuk kesyirikan. Sebab syirik adalah kezaliman yang paling besar. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Semakin sempurna orang dalam membersihkan diri dari kezaliman maka semakin sempurna pula keamanan dan petunjuk yang akan dia dapatkan. Sebab kezaliman itu mencakup beberapa bentuk; zalim terhadap hak Allah, zalim terhadap orang lain, dan zalim terhadap diri sendiri. Segala bentuk kezaliman adalah diharamkan dan menjadi sebab kesengsaraan hidup manusia. Kezaliman yang menghalangi dari keamanan dan petunjuk yang paling berat adalah kezaliman terhadap hak Allah; yaitu dengan melakukan syirik kepada-Nya. Walaupun pelaku syirik itu sama sekali tidak menzalimi orang lain dengan perbuatan syiriknya.

Di sini kita juga bisa memetik faidah bahwa sumber keamanan dan hidayah itu adalah keimanan yang bersih dari kezaliman. Untuk itu kia perlu memahami makna dan hakikat iman. Sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama bahwa iman itu adalah keyakinan di dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang karena perbuatan kemaksiatan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Sehingga tidak cukup iman itu bermodalkan ucapan lisan atau keyakinan hati semata. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hatinya menjadi takut, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya semakin bertambahlah imannya, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabbnya.” (al-Anfal : 2-4). Iman juga tidak cukup dengan beramal salih secara lahiriah tetapi tidak disertai keyakinan hati. Oleh sebab itu Allah mencela kaum munafik. Di bagian awal-awal surat al-Baqarah Allah mengatakan (yang artinya), “Dan sebagian diantara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami telah beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal sebenarnya mereka bukanlah kaum beriman…”

Melakukan amal-amal salih juga tidak cukup apabila tidak disertai dengan membersihkan diri dari segala bentuk kesyirikan. Oleh sebab itu Allah berfirman dalam bagian akhir surat al-Kahfi (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Allah juga berfirman (yang artinya), “Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65). Semoga Allah melindungi kita dari syirik…

Meraih Keamanan dan Petunjuk

Imam Bukhari menuturkan : Qutaibah bin Sa’id menuturkan kepada kami. Dia berkata : Jarir menuturkan hadits kepada kami dari al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqomah dari Abdullah -yaitu Ibnu Mas’ud- bahwa beliau berkata : Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman…” (al-An’am : 82) maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan, “Siapakah diantara kita ini yang tidak mencampuri imannya dengan kezaliman?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menanggapi : Sesungguhnya bukan itu yang dimaksudkan. Tidakkah kalian pernah mendengar ucapan Luqman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (HR. Bukhari no. 6444, lihat dalam Minhatul Malik al-Jalil, 12/389)  

Di dalam hadits ini diterangkan bahwasanya orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan hidayah -sebagaimana disebutkan dalam surat al-An’am : 82 itu- adalah mereka yang beriman (bertauhid) dan tidak mencampurinya dengan syirik. Syirik disebut sebagai kezaliman karena orang yang berbuat syirik meletakkan ibadah kepada selain Allah, padahal tidak ada yang berhak menerima ibadah selain Allah. Oleh sebab itu syirik menjadi bentuk kezaliman dan dosa besar yang paling besar.

Hadits ini juga memberikan pelajaran kepada kita pentingnya hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hadits merupakan penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Karena itulah para Sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ayat ini yang menurut mereka ‘memberatkan’. Kemudian jelaslah bagi mereka bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah membersihkan iman dari syirik, inilah syarat untuk bisa mendapatkan keamanan dan hidayah. Dengan kata lain perkara yang menghalangi hidayah dan keamanan itu adalah perbuatan syirik.

Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa hidayah dan keamanan yang diperoleh itu berbanding lurus dengan kualitas iman dan besar-kecilnya kezaliman yang dikerjakan oleh manusia. Semakin kuat imannya dan semakin kecil kezalimannya maka semakin besar pula hidayah dan keamanan yang akan dirasakan olehnya. Sebaliknya, semakin lemah imannya dan semakin besar kezalimannya maka semakin kecil pula hidayah dan keamanan yang akan diperoleh untuknya.

Hadits ini juga memberikan faidah bahwasanya kezaliman itu bertingkat-tingkat. Kezaliman terbesar adalah syirik kepada Allah; yaitu dengan menujukan ibadah kepada selain Allah di samping ibadahnya kepada Allah. Padahal ibadah adalah hak Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36). Syirik inilah yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka dan haram masuk surga. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa-idah : 72)

Hadits ini juga memberikan pelajaran bahwa iman akan menjadi lemah akibat kezaliman. Sebagaimana diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwasanya iman itu bisa bertambah dan berkurang. Ketaatan akan menguatkan iman, sedangkan kemaksiatan akan melemahkan iman. Salah satu bentuk maksiat itu adalah kezaliman, sedangkan syirik adalah maksiat dan kezaliman yang paling berat. Oleh sebab itu para ulama menjelaskan bahwa salah satu pembatal keimanan itu adalah perbuatan syirik kepada Allah dalam bentuk mempersembahkan ibadah berupa doa, sembelihan, nadzar, dsb kepada selain Allah. Inilah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.

Hadits di atas beserta ayat yang disebutkan di dalamnya juga menjadi pelajaran penting bagi kita bahwasanya hidayah dan keamanan itu akan terwujud dengan menegakkan nilai-nilai tauhid dan memberantas berbagai bentuk pemahaman dan perbuatan syirik. Untuk bisa membersihkan aqidah dari syirik tentu membutuhkan jihad/perjuangan keras dan dakwah yang tidak kenal henti. Hal ini senada dengan firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan keridhaan Kami.” (al-’Ankabut : 69)

Hadits tersebut juga memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa syirik akan mendatangkan rasa takut di akhirat dan menjauhkan manusia dari hidayah di dunia. Dengan demikian kebahagiaan dan ketenangan hanya akan bisa dirasakan oleh orang yang bertauhid dan menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Sebagaimana yang dikatakan oleh Malik bin Dinar rahimahullah, “Telah keluar para pemuja dunia dari dunia dalam keadaan mereka belum merasakan sesuatu yang paling lezat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah yang paling lezat di dalamnya?” maka beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”

Hadits tersebut beserta ayat yang ditafsirkannya juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya syirik adalah kotoran bagi jiwa manusia. Oleh sebab itu Allah mengutus segenap rasul untuk menyucikan jiwa-jiwa mereka dengan tauhid dan membersihkannya dari segala bentuk pemujaan berhala. Itulah salah satu rahasia mengapa para ulama hadits dan ahli fikih di masa silam mendahulukan pembahasan tentang iman dan thaharah sebelum bab-bab lainnya. Disebabkan thaharah adalah syarat diterimanya sholat dan membersihkan iman dari kotoran syirik adalah syarat diterimanya seluruh amalan.

Hadits tersebut memberikan pelajaran kepada kita betapa pentingnya pelajaran tentang tauhid dan menjelaskan kepada manusia berbagai bentuk syirik. Sebab tauhid inilah yang akan menjadi kunci kebahagiaan dan syirik adalah gerbang menuju kesengsaraan. Oleh sebab itu dakwah tauhid menempati prioritas paling utama di dalam Islam, sebagaimana yang diwasiatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Donasi masih belum terpenuhi, silahkan bagi yang ingin berpartisipasi…


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/faidah-seputar-ayat-keutamaan-tauhid/